Selasa, 09 November 2010

PERAN PROFETIK AL KHAIRAAT Menebarkan Kebaikan Bagi Indonesia,Mencounter Kolonialisme dengan Pendidikan

PERAN PROFETIK AL KHAIRAAT
Menebarkan Kebaikan Bagi Indonesia,Mencounter Kolonialisme dengan Pendidikan

Oleh:Ali Mansur, M.Ag
(Ketua HPA Wilayah DKI Jakarta)

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang dikhawatirkan Belanda ketika mereka menjajah Indonesia. Sebab, mereka menyadari bahwa ketakberpendidikan mayoritas rakyat Indonesia kala itu merupakan salah satu akses utama mudahnya Belanda melakukan penjajahan dan menggantungkan cita-cita kolonialisme di tanah air Nusantara. Sehingga, pendidikan di Indonesia menjadi salah satu aspek yang dimonopoli dan paling diawasi oleh Belanda.
Oleh karena itu, ketika pada tahun 1914 Belanda terdesak untuk menyediakan akses pendidikan bagi rakyat Indonesia. Maka, Belanda membuka lembaga pendidikan yang berbasis Nasrani serta berada ketat di bawah pengawasan Belanda. Sehingga, lembaga pendidikan itu pun sejatinya, hanya memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan kalangan pro-Belanda sekaligus menjadi akses bagi Belanda untuk memberikan doktrin kolonialisme mereka kepada masyarakat Indonesia.
Kesadaran itulah yang kemudian dirasakan oleh Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri. Sehingga, beliau pun terdorong untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan murni yang berbasis Islam di Palu yang kemudian diberi nama “Madrasah Al Khairaat Al Islamiyah”. Madrasah tersebut secara resmi didirikan pada 30 Juni 1930 sesuai dengan peresmian gedung pertamanya. Walaupun sejatinya madrasah tersebut telah berdiri dan berkiprah jauh sebelum itu.
Selain sebagai lembaga dakwah Islam di Indonesia. Lembaga pendidikan itu kemudian juga diorientasikan guna menjadi lembaga untuk mencerdaskan rakyat Indonesia. Setidaknya, agar rakyat Indonesia menyadari buruknya cita-cita kolonialisme Belanda yang telah lama digantungkan di Nusantara serta menyadari akan keterjajahan dan ketertindasan mereka di tanah airnya sendiri. Sehingga kemudian kemerdekaan dan kesejahteraan akan terasa di tanah air Indonesia. Singkatnya, secara umum Al Khairaat memiliki cita-cita sesuai dengan namanya; menebarkan kebaikan-kebaikan di Indonesia.
Kewibawaan dan keterpandangan sosok Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri di Palu menjadikan Belanda terpaksa patut mengizinkan tekad Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri tersebut. Walaupun, sejak berdiri, Al Khairaat terus mendapatkan pengawasan ketat dari Belanda.
Hingga tahun 1933 merupakan tahun-tahun yang sulit bagi Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri dalam membangun Al Khairaat. Sebab, selama itu adalah masa-masa awal perintisan Al Khairaat. Selain pengawasan ketat dan tekanan yang dilakukan oleh pihak Belanda. Minimnya tenaga pengajar merupakan variabel lain yang menjadi hambatan bagi Al Khairaat di masa-masa perintisan tersebut. Oleh karena itu, pada masa-masa itu Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri menjadi sosok guru utama yang terlibat di seluruh proses belajar-mengajar di Madrasah Al Khairaat Al Islamiyah. Beliau juga menjadi sosok utama yang melindungi dan mempertahankan eksistensi Al Khairaat di tengah-tengah pengawasan ketat dan tekanan dari pihak Belanda.
Namun, walau berada dalam keadaan yang begitu sulit, di masa-masa perintisan itu Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri telah mampu menorehkan berbagai prestasi signifikan bagi rakyat Indonesia melalui di Al Khairaat.
Sederetan prestasi signifikan tersebut, diantaranya:
• Masyarakat sekitar menjadi memahami Islam secara utuh serta meninggalkan berbagai tradisi bernuansa animisme yang tak sesuai dengan ajaran Islam yang saat itu memang masih ada dan berkembang di masyarakat sekitar.
• Masyarakat sekitar mulai memahami buruknya cita-cita kolonialisme Belanda di tanah air Indonesia serta mulai tumbuh kesadaran untuk mengakhiri penjajahan Belanda tersebut.
• Mulai terkumpulnya dana-dana bagi kelanjutan pengembangan Al Khairaat, baik dari para dermawan, simpatisan atau pun dari hasil usaha dagang Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri yang sebagian kemudian dihibahkan kepada Al Khairaat.
• Mampu mendirikan sebuah gedung madrasah untuk menunjang proses belajar-mengajar di Al Khairaat yang diresmikan pada 30 Juni 1930, sekaligus menyediakan kediaman bagi Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri di lingkungan gedung madrasah itu pula. Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat sekitar, diantaranya; Madika Palu, Waliyullah Al-Habib Ahmad Bin Ali Al Muhdar dari Wani.
• Telah berhasil mencetak dua lulusan, yaitu Syech Abd. Rahman Bin Syech Al-Djufri (keponakan Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri) dan Muhammad Gasim Maragau (Putera Kaili). Selain itu, juga tercatat telah berhasil mencetak dua tenaga pengajar yang kemudian diminta oleh Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri untuk membantu beliau di Al Khairaat, yaitu; S. Muhammad Bin Syech Al-Djufri dan S. Sagaf Bin Syech Al-Djufri.
Ketika memasuki tahun 1934, upaya pengembangan Al Khairaat mulai dilakukan oleh Syech Al-Djufri. Oleh karena itu, dari tahun itu hingga tahun 1956 dikenal sebagai masa pembangunan Al Khairaat.
Upaya pengembangan tersebut dilakukan dengan pendekatan tradisional. Dalam artian, Syech Al-Djufri melakukan pendekatan secara langsung dengan mendatangi berbagai tokoh-tokoh serta kalangan-kalangan bangsawan sekitar serta menyampaikan ceramah-ceramah guna menyampaikan dan menarik simpati masyarakat sekitar terhadap kiprah Al Khairaat. Kegiatan tersebut dilakukan beliau hingga mencapai daerah Poso-Ampana, Luwak-Banggai, Tinombo, Parigi, Gorontalo, Menado hingga mencapai wilayah Ternate. Bahkan, tercatat bahwa Syech Al-Djufri sempat mengunjungi beberapa wilayah di Jawa dan Kalimantan.
Namun, hambatan tetap mewarnai laju perkembangan Madrasah Al Khairaat Al Islamiyah tersebut. Dalam periode ini, salah satu hambatan terbesar yaitu saat Al Khairaat mengalami “Instruksi Peringatan”. Instruksi ini muncul akibat kecurigaan yang mulai memuncak dari pihak Belanda terhadap Al Khairaat dengan berbagai aktifitasnya. Terlebih, sejak awal kelahirannya Al Khairaat telah diduga oleh pihak Belanda sebagai lembaga pendidikan yang mengimbangi dan meredam upaya penyebaran ajaran Nasrani oleh lembaga-lembaga pendidikan bentukan Belanda, khususnya Bala Keselamatan yang berpusat di Kalawara.
Oleh karena itu, pada tahun 1939 secara mendadak Inspektur Pengajaran dari Manado tiba-tiba mendatangi Al Khairaat untuk melihat kurikulum serta buku pegangan pengajaran di Al Khairaat. Pasalnya, sempat terkabar bahwa Al Khairaat menjadikan buku berjudul “Izdhatun Nasyi’in” karya Mustafah Algalayin dari Libanon sebagai buku pegangan pengajarannya. Dan, jika itu benar-benar terbukti, maka dapat dipastikan bahwa Belanda akan menghentikan seluruh aktifitas Al Khairaat karena dinilai mengancam eksistensi Belanda di Indonesia. Apalagi, tercatat bahwa banyak alumnus Al Khairaat yang aktif sebagai anggota atau pun pengurus Serikat Islam, sebuah organisasi yang gencar mendakwahkan Islam dan menggerakkan pengikutnya untuk menuntut kemerdekaan Indonesia.
Sederetan kecurigaan itu membuat Belanda semakin ketat mengawasi dan menekan Al Khairaat. Sehingga, laju pengembangan Al Khairaat pun menjadi terkendala. Beberapa tokoh Al Khairaat pun banyak yang mulai ditindak karena tuduhan telah ikut serta secara aktif dalam kegiatan menentang penjajahan Belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Diantara beberapa insiden tersebut, yaitu:
• Tuduhan terhadap M.S. Patimbing pada Desember 1939 yang dituduh mengadakan rapat gelap di dalam Masjid Kampung Soho (Kota Luwuk) saat beliau masih bertugas sebagai guru Al Khairaat di Ampana, Poso. Atas tuduhan itu, M.S. Patimbing dikenai hukuman oleh Belanda dan Masjid Kampung Soho dilarang digunakan untuk ibadah shalat Jum’at.
• Pada tahun 1942, Ustad Abdussamad (Kepala Madrasah Cabang Dondo, Ampana) bersama lima kawannya dikenai hukuman keras dengan dibuang ke laut sekitar Tojo dan Poso, Perairan Teluk Tomini oleh Belanda.
Ketika penjajahan beralih ke tangan Jepang pun, pengawasan ketat dan tekanan keras terhadap aktifitas Al Khairaat terus dilakukan oleh Jepang dengan asumsi yang sama; dikhawatirkan Al Khairaat akan menjadi lembaga pendidikan yang mencerdaskan rakyat Indonesia serta menyadarkan mereka akan keterjajahannya oleh Jepang serta nantinya menuntut kemerdekaan. Dan, Al Khairaat dipaksa oleh Jepang untuk diliburkan hingga batas waktu yang tak ditentukan dengan alasan gedung madrasah itu akan menjadi markas Nantako oleh tentara Jepang.
Tak aktifnya Al Khairaat berlangsung hingga Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dan, saat Indonesia sudah merdeka, maka Al Khairaat pun aktif kembali. Secara resmi instruksi aktifnya kembali Al Khairaat itu turun pada 17 Desember 1945. Al Khairaat pun kembali berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia.
Namun, perjuangan belum berakhir. Pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI pun Al Khairaat masih mendapat tekanan dari Nederlands Indische Civiel Administrasi (NICA)yang kala itu masih menguasai daerah sana. Al Khairaat ditekan oleh NICA dengan tuduhan bahwa banyak anggotanya yang terlibat dalam Gerilya Kilat, sebuah gerakan yang aktif mengadakan sabotase dan menjadi mata-mata para pejuang pergerakan yang berusaha memerdekakan daerah sana dari NICA.
Di tengah-tengah berbagai hambatan itu, Al Khairaat tetap berkiprah dalam aspek pendidikan. Sehingga, perkembangan dan prestasi semakin ditorehkan oleh Al Khairaat dalam memajukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Lulusan-lulusan berkualitas terus dicetak oleh madrasah tersebut. Berbagai lulusannya juga telah diutus ke daerah-daerah serta menorehkan berbagai prestasi dalam mencerdaskan rakyat Indonesia di masing-masing daerah; Bailo, Tinombo, Pulau Togian, Banggai, Batui, Kintom, Bungku, Poso, dll. Mereka juga hingga membuka cabang Al Khairaat di masing-masing daerah tersebut. Sehingga Al Khairaat pun menjadi terkenal di berbagai wilayah di seantero Indonesia sebagai sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang mencerdaskan rakyat Indonesia dan berperan aktif dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Di masa transisi, masyarakat di Lembah Palu mengadakan gerakan yang pada puncaknya menyelenggarakan demonstrasi di hadapan Pemerintah NIT di Palu untuk menyampaikan Maklumat 6 Mei 1950. Kegiatan itu mendapat respon positif dan aktif dari Al Khairaat. Sehingga, pada 15 Juni 1951, Al Khairaat menyelenggarakan konferensi terkait hal itu. Konferensi sehari di Gedung Al Khairaat itu dihadiri sekitar 100 orang yang terdiri dari para tokoh masyarakat, kepala distrik hingga para raja sekitar Palu, Donggala dan sekitarnya. Konferensi itu dipimpin oleh M.S. Patimbang dan sekertarisnya, Kamaruddin Patimbang. Konferensi itu pun menghasilkan beberapa maklumat, yaitu:
• Maklumat tentang kebulatan dukungan Al Khairaat terhadap Maklumat 6 Mei 1950, serta menentang setiap ancaman terhadap Pemerintahan RI yang berpusat di Jogja.
• Maklumat untuk membangun dan membina serta mengembangkan Al Khairaat sebagai wadah yang bergerak untuk kepentingan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.
Pada tahun 1953, setelah Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri kembali dari perjalanan panjangnya membangun cabang-cabang Al Khairaat, beliau segera membangun gedung baru agar mampu menampung kapasitas murid yang kala itu mulai melebihi kapasitas gedung lama. Beliau mendirikan gedung bertingkat dua dengan motif bangunan ala Arab yang ditopang oleh dana dari usaha dagang beliau serta bantuan dari para dermawan.
Sejak saat itu, perkembangan Madrasah Al Khairaat Al Islamiyah begitu pesat. Apalagi, paska kedatangan Hi. Rustam Arsjad dari tugas mengajarnya di Kalimantan, beliau membuka madrasah satu tingkat di atas Madrasah Ibtidaiyah, yaitu; Madrasah Mualimin. Madrasah Mualimin tersebut ditempuh selama 3 tahun dengan dibekali kurikulum berbasis keguruan. Sehingga, lulusannya siap untuk diterjunkan langsung sebagai tenaga pengajar ke cabang-cabang Al Khairaat di seluruh Indonesia. Bahasa Arab juga menjadi salah satu nilai unggul madrasah ini. Sehingga, lulusannya dikenal dengan kualitas yang bermutu.
Pada tahun 1951, sebagai salah satu langkah adaptasi dengan kondisi daerah setempat, nama Madrasah Al Khairaat Al Islamiyah dirubah menjadi Perguruan Islam Al Khairaat. Saat Abas Palimuri kembali dari tugas belajarnya di SGA Jakarta, beliau juga mendapat restu dari Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri untuk mendirikan MLP (Madrasah Lanjutan Pertama), sederajat SMP. Dan, selanjutnya juga dibuka PGAP yang disesuaikan dengan program PGA yang diasuh langsung oleh Departemen Agama. Bachren Thajeb ditunjuk sebagai kepala sekolahnya. Kegiatan non-akademis juga kemudian terus berkembang di Al Khairaat, dari olah raga hingga keorganisasian.
Ketika memasuki tahun 1956, Al Khairaat telah memulai menata keorganisasiannya secara lebih sistematis. Mereka mulai melakukan langkah koordinasi dan integrasi internal di Al Khairaat. Upaya koordinasi dan integrasi internal di Al Khairaat ini sejatinya telah dimulai saat Al Khairaat melakukan Konferensi 15 Juni 1951. Namun, konferensi itu ternilai masih terbatas. Oleh karena itu, secara resmi upaya pertemuan akbar antar pengurus dan pimpinan Al Khairaat secara keseluruhan dilakukan pada tahun 1956 bertepatan dengan Ulang Tahun ke-25 Al Khairaat. Pertemuan tersebut kemudian dikenal dengan Muktamar I Al Khairaat.
Muktamar I tersebut secara umum dilaksanakan guna memenuhi keinginan Habib Idrus Bin Salim Al-Djufri untuk membicarakan dengan seluruh pengurus Al Khairaat terkait perkembangan di masa itu serta orientasi Al Khairaat di masa depan. Muktamar I tersebut memang ternilai sangat signifikan. Sebab, melalui forum itulah koordinasi dan integrasi mulai terjadi di Al Khairaat. Selain itu, Muktamar I tersebut ternilai telah berhasil merumuskan keorganisasian Al Khairaat secara sistematis.
Pelaksanaan Muktamar Al Khairaat itu pun menjadi agenda rutin Al Khairaat guna melakukan koordinasi, integrasi serta sistematisasi internal di Al Khairaat. Muktamar II pun kembali dilaksanakan pada 1963 di Ampana, Poso. Muktamar III berlangsung pada tahun 1970. Muktamar IV dilangsungkan pada tahun 1981. Dan, Muktamar V digelar pada tahun 1987.

Al Khairaat News Edisi Khusus Khusus Khaul[September 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar